Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Nusantara    
Seminar
Seminar 'Membedah RUU Kejaksaan' terdapat 6 Urgensi dan 4 Kesimpulan
2020-10-28 05:41:38
 

Kepala Biro Hukum dan Hubungan Internasional, Kejaksaan Agung Asep Nana Mulyana, dengan Dekan FH Universitas Pakuan Bogor sekaligus Ketua Umum MAHUPIKI Yenti Garnasih beserta moderator Dr. Beni Harmoni Harefa.(Foto: Istimewa)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Konsep dalam Rancangan Undang-undang (RUU), perubahan Undang-undang (UU) Kejaksaan inilah cerminan hukum yang progesif, karena telah mengakomodir beberapa ketentuan yang berlaku dan diakui secara universal dan internasional. Didalam RUU Kejaksaan ini, naskah akademik telah terurai secara utuh dan komprehensif, bagaimana arah dan dari mana munculnya berbagai kewenangan Kejaksaan di dalam RUU Perubahan ini ada.

Demikianlah sambutan Jaksa Agung RI, Burhanudin pada saat menjadi Keynote Speaker dalam seminar nasional secara virtual (webinar), yang dilaksanakan berkat kerjasama Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminolog Indonesia (MAHUPIKI) beserta Universitas Pakuan (UNPAK) Bogor, dengan temanya, "Membedah RUU Kejaksaa".

Menurut Burhanudin mengatakan walaupun di tengah keterbatasan karena pandemi Covid-19 saat ini, namun tidak menyurutkan semangat kita untuk terus bergerak dan berkarya melaksanakan aktivitas ilmiah berupa webinar Nasional, dengan tema "Membedah RUU Kejaksaan".

"Atas nama pribadi maupun Pimpinan Kejaksaan, saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Pihak Penyelenggara yang telah bekerja keras dalam menyelenggarakan kegiatan ini. Saya menyambut baik dan mengapresiasi kegiatan webinar ini karena dapat menjadi sebuah sumbangsih riil pemikiran yang berasal dari kalangan akademisi dan praktisi hukum dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan)," ujarnya, berdasarkan dari siaran pers Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejakaan Agung, Hari Setyono pada Selasa (27/10).

Lebih lanjut kata Hari Jaksa Agung menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah inisiatif dan usulan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun beberapa kalangan ada yang menyatakan jika RUU ini adalah inisiatif dari Kejaksaan, itu tidak benar.

"Karena Kejaksaan saat ini masih menjadi bagian dari Lembaga Eksekutif. Tentunya apabila hendak mengusulkan suatu undang-undang, jalur pengusulannya haruslah melewati Pemerintah," ungkapnya.

Nah, menurut orang nomor satu di Korps Adhyaksa ini, dengan adanya RUU tentang Perubahan Undang-Undang Kejaksaan yang telah diusulkan oleh DPR ini, menurut Burhanudin dapat dimaknai jika Lembaga Legislatif tersebut memandang perlu segera adanya perbaikan kualitas sistem hukum yang lebih baik di Indonesia, dan lebih modern agar dapat mewujudkan rasa keadilan masyarakat.

"Kejaksaan mendukung inisiatif dan usulan tersebu. Kami juga berharap RUU Perubahan ini akan dapat mengembalikan dan menyelaraskan segenap norma hukum, terkait Kejaksaan yang tersebar di berbagai macam ketentuan, sesuai dengan sistematika hukum dan asas-asas hukum yang berlaku," imbuhnya.

Dalam "Membedah RUU Kejaksaan" kata Burhanudin harus melihat secara utuh, holistik, dan komprehensif terhadap tugas dan wewenang Jaksa yang tidak sekedar tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saja. Melainkan juga yang terncatum di berbagai macam aturan hukum dan asas-asas hukum yang lain, baik yang berlaku secara nasional maupun internasional.

"KUHAP hanyalah sebagian kecil dari sejumlah kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa. Terlalu sempit pandangan jika kita melihat RUU Perubahan ini hanya dari sudut pandang KUHAP," ujar Burhanudin seraya mengatakan karena dinamika hukum dan masyarakat serta perkembangan teknologi juga turut andil melatarbelakangi urgensi perlunya dilakukan perubahan atas UU Kejaksaan.

"Tercatat, beberapa judicial review diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji validitas UU Kejaksaan terhadap UUD 1945.

Berbagai dinamika tersebut sudah seharusnya diakomodasi dan ditindaklanjuti dalam perubahan UU Kejaksaan," tegasnya.

Ada 6 Urgensi dan 4 Kesimpulan

Pasalnya, menurut Burhanudin setidaknya ada enam urgensi yang sangat diperlukan dalam perubahan UU Kejaksaan, misalnya pertama, dinamika yang berkembang di masyarakat dan kebutuhan hukum di masyarakat. Kedua, adanya beberapa judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas UU Kejaksaan.

Ketiga, perkembangan hukum dalam hukum nasional, hukum internasional, dan doktrin terbaru. Keempat, penerapan asas-asas hukum dan filosofis hukum. Lalu kelima, konvensi yang berlaku dan diakui secara universal, dan keenam, perkembangan teknologi dan informasi.

"Bahwa untuk lebih memahami konsep dalam RUU Perubahan UU Kejaksaan, sebaiknya kita terlebih dahulu membaca Naskah Akademik, sebagai kajian ilmiah atas penyusunan RUU Perubahan ini.

Didalam Naskah Akademik telah terurai secara utuh dan komprehensif bagaimana arah dan dari mana munculnya berbagai kewenangan Kejaksaan di dalam RUU Perubahan ini," jelasnya sambil mengatakan hasilnya, ada empat kesimpulan.

Pertama, RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan tidak kembali ke HIR. RUU Perubahan ini justru cerminan hukum yang progesif karena telah mengakomodir beberapa ketentuan yang berlaku dan diakui secara universal dan internasional. Seperti yang diamanatkan dalam Guidelines on The Role of Prosecutor. Seperti, International Association of Prosecutors (IAP), United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), United Nations Convention Against Transnational Organized Crime and The Protocol Thereto (UNTOC) dan Statuta Roma.

Kedua, RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan telah sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku. Asas ini menjadi landas pijak Kejaksaan dalam menyelenggarakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan fungsi penegakan hukum yang meliputi, Asas single prosecution system, Asas dominus litis, Asas oportunitas, Asas independensi penuntutan dan Asas perlindungan Jaksa.

Ketiga, RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan tidak menambah wewenang maupun mengambil kewenangan instansi lain. RUU Perubahan ini hanya mengkompilasi ketentuan hukum dan asas-asas hukum yang sudah ada dan memberikan nomenklatur yang bukan hanya Nasional namun ekskalasi Internasional. Contohnya, dalam Penyidikan Lanjutan, kewenangan Jaksa Penuntut Umum dengan melakukan Penyidikan. Lalu, pembentukan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer, pada hakikatnya merupakan mandat konstitusional, dan memiliki Kewenangan Penyadapan.

Selain itu, Jaksa Agung sebagai Penyidik, Penuntut Umum, dan Pengacara Negara Tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan utama Kejaksaan yang telah melekat sejak lama, dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman, yaitu Parket Generaal, Advocaat Generaal, dan Solicitor General.

Keempat, RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan akan lebih menciptakan check and balace dalam sistem peradilan pidana. Perlu dipahami bersama jika Penyidik dan Penuntut Umum adalah satu kesatuan nafas dalam proses penuntutan yang tidak dapat dipisahkan. Penyidikan dan Penuntutan bukanlah suatu proses check and balace, karena segala hasil pekerjaan dari Penyidik, baik-buruknya, benar-salahnya, seluruhnya akan menjadi tanggung jawab penuh dari Jaksa Penuntut Umum di persidangan untuk mempertahankan segala jenis pekerjaan Penyidik.

"Bercermin dari sistem hukum di dunia, yaitu civil law system di Belanda dan common law system di Amerika Serikat. Ruang lingkup penuntutan sudah dimulai dari tahapan pengumpulan alat-alat bukti, atau yang biasa disebut dengan penyidikan. Check and balace sejatinya berada di pengadilan yang merupakan ujung dari penyelesain perkara pidana dalam menguji kebenaran atas fakta-fakta hukum yang diajukan," katanya.

Karena menurutnya, hasil pekerjaan Penyidik dan Penuntut Umum adalah satu kesatuan sebagai Premis Tesis yang akan di check and balace kan dengan bantahan dari Penasihat Hukum sebagai Premis Antitesis, kemudian Hakim lah yang akan memeriksa dan mengadilinya sebagai Sintesis.

"Adanya RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan merupakan sebuah momentum bagi Kejaksaan untuk berbuat lebih baik lagi dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam menegakan keadilan dan kebenaran. Dilandasi kearifan silih asih, silih asah, serta silih asuh dalam mewujudkan terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila," tandasnya.

Sementara itu, dalam acara seminar webinar nasional ini, narasumbernya adalah, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Internasional, Kejaksaan Agung Asep Nana Mulyana, Dekan FH Universitas Pakuan Bogor sekaligus Ketua Umum MAHUPIKI Yenti Garnasih beserta wakilnya yang juga Guru Besar FH Universitas Andalas Elwi Danil dan Advokat Dr Juniver Girsang, dengan moderator Dr. Beni Harmoni Harefa.(bh/ams)



 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan

Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah

Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua

 

ads2

  Berita Terkini
 
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

5 Oknum Anggota Polri Ditangkap di Depok, Diduga Konsumsi Sabu

Mardani: Hak Angket Pemilu 2024 Bakal Bikin Rezim Tak Bisa Tidur

Hasto Ungkap Pertimbangan PDIP untuk Ajukan Hak Angket

Beredar 'Bocoran' Putusan Pilpres di Medsos, MK: Bukan dari Kami

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2